Selasa, 09 Juni 2009

Peran perempuan Senegal dalam wilayah keagamaan semakin meningkat

Dakar – Di Senegal, Islam memainkan peran yang sangat penting. Ia membentuk seluruh wahana pemikiran kolektif. Karena sebagian ayat-ayat keagamaan ditafsirkan dengan cara yang menganggap perempuan sebagai inferior, banyak kalangan feminis menganggap bahwa Islam merupakan penghalang bagi emansipasi perempuan. Namun peran perempuan dalam wilayah keagamaan di Senegal sebetulnya lebih kompleks dari apa yang dibayangkan orang.

Kajian mengenai peran perempuan dalam masyarakat Muslim tumbuh pesat pada awal tahun 80-an di Senegal bersamaan dengan bangkitnya konservatisme agama di negara itu.

Saat itu, hidup jadi sangat sulit bagi perempuan Senegal yang berani berbicara tentang al-Qur'an sebagai sumber kebebasan, khususnya ketika para juru dakwah di radio dan TV nasional mentolerir tindakan pemukulan suami terhadap istri karena menurut mereka tindakan itu "sesuai dengan perintah al-Qur'an". Beberapa ayat dalam Al Qur'an sering ditafsirkan dengan cara-cara yang tidak berpihak kepada kaum perempuan. Ini membangkitkan wacana keagamaan baru tentang konsep kepatuhan perempuan, superioritas laki-laki, serta tugas perempuan untuk mengelola rumah tangga, memberikan anak, dan menerima poligami sebagai suatu hal yang tak dapat dihindari. Lagipula, perempuan di Senegal secara hukum diperlakukan sebagai subyek yang tak begitu penting.

Namun, tekad kaum perempuan Senegal untuk melangkah maju, dipadu dengan tekanan internasional terhadap pemenuhan hak-hak perempuan, telah membuka prospek-prospek baru yang menarik. Perempuan Senegal sekarang memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan beragama. Partisipasi mereka dalam perdebatan intelektual tentang kesetaraan gender dalam Islam di ruang publik merupakan langkah pertama untuk membuat peran perempuan dalam wilayah keagamaan menjadi lebih terlihat.

Misalnya, banyak kontroversi seputar penafsiran ayat 34 Surat An-Nisa' yang menyatakan bahwa laki-laki adalah "pelindung" kaum perempuan. Meski banyak yang menunjuk ayat ini sebagai bukti rendahnya kedudukan perempuan dalam Islam, mereka tidak banyak memperhatikan kalimat yang mengikutinya. Dalam ayat yang sama dinyatakan bahwa laki-laki menjadi pelindung: "karena mereka membelanjakan harta benda mereka [demi menghidupi perempuan]".

Dengan kata lain, kewenangan kaum laki-laki atas kaum perempuan tergantung pada kemampuan mereka memenuhi kebutuhan istri mereka. Namun, karena sekarang perempuan telah semakin mampu memenuhi kebutuhan pribadi mereka dan anak-anaknya, bahkan para suami mereka, ketergantungan ini tidak lagi menentukan pola hubungan mereka dengan laki-laki.

Selain melakukan penafsiran ulang atas ayat-ayat al-Qur’an, perempuan Senegal juga telah menciptakan ruang bagi mereka dalam wilayah keagamaan yang lain. Satu contohnya adalah Sokhna Magat Diop. Diop menggantikan posisi ayahnya yang wafat tahun 1980-an sebagai pemimpin tarikat Mauridiyah di Dakar. Ia tidak hanya memiliki sebidang tanah yang ditanami dan diurus oleh para pengikutnya, tetapi juga memberikan mereka bimbingan keagamaan dan menunjuk imam.

Contoh lain adalah mantan jurnalis Ndiaye Mody Guirandu, yang mendirikan tarikat Sufi baru. Seperti laiknya pemimpin komunitas keagamaan lain, Guirandu menunjukkan peran dan status yang dapat dicapai oleh perempuan secara legal di Senegal.

Kritik yang dialamatkan pada Guirandu bisa dijadikan pelajaran. Di sebuah negara yang menempatkan Islam sebagai pusat segala kegiatan dan eskatologi sebagai bagian dari keseharian, kepemimpinan Guirandu di tarikat itu dianggap sebagai "bid’ah" karena ia melanggar tradisi yang menempatkan perempuan hanya sebagai anggota dalam komunitas keagamaan atau peserta pada upacara-upacara keagamaan.

Di sebuah negara seperti Senegal, mendapatkan kekuatan dan posisi dalam wilayah keagamaan, bahkan sekedar melakukan ibadah haji tahunan ke Mekkah, bisa menjadi pintu masuk bagi perempuan ke ruang publik. Perempuan di Senegal memang tidak dianjurkan untuk berpartisipasi dalam politik, dimarjinalisasi dalam urusan kemasyarakatan, disangkal haknya untuk mengelola tanah dan ditolak kepemimpinan keagamaannya di ruang- publik.

Tapi mereka telah mulai mengubah status quo dengan menciptakan kesadaran akan pentingnya isu-isu keagamaan bagi perempuan, mendorong perdebatan publik tentang peran perempuan di Senegal, dan mengambil peran dalam upacara-upacara keagamaan.

Sebagian kemajuan telah tercapai, dan ini memberikan semangat. Namun, masih banyak yang harus dilakukan untuk memperkenalkan nilai-nilai yang lebih demokratis dan sekuler ke dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tanpa adanya ini, konsep kesetaraan gender hanyalah fantasi belaka.

###

* Penda Mbow adalah ahli sejarah Senegal, profesor di Cheikh Anta Diop University di Dakar dan presiden Gerakan Warga Negara (the Citizens' Movement). Artikel ini merupakan bagian dari edisi khusus “Masyarakat Muslim yang kurang dikenal” yang ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 13 Maret 2009, www.commongroundnews.org
Telah memperolah izin untuk publikasi.
Sumber:http://www.commongroundnews.org/article.php?id=25037&lan=ba&sid=1&sp=0&isNew=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar